Diposkan pada syair hening

Ziarah Aku

Di cermin itu,
Terpampang sosok asing bagiku
Muka tirus.
Rambut gondrong.
Kurus.

Sepuluh tahun yang lalu..
Ku kenal dekat
Begitu polos, ceria, dan senyum itu.
Ya…senyum yang selalu tersungging dari bibirmu.

Sepuluh tahun yang lalu..
Ketika sang surya kembali ke peraduan,
Peci hitam dikepalamu,
Baju koko putih,
Plus sarung tenun samarinda,
Begitu bangga kau memakainya sambil berkaca,
Tangan kananmu menenteng mushaf pula,
Pemberian bapakmu,waktu kau sunat dulu,
Mau kemana kau ?, tanyaku.
“ngaji !, di rumah pak kyai”, jawabmu sambil berlari.
Ya..sepuluh tahun yang lalu
Sekarang.

Di cermin itu,
Terpampang sosok asing bagiku
Muka tirus.
Rambut gondrong.
Kurus.

Ah..kesederhanaan itu.
Ingin ku sepertimu lagi.

2009

Diposkan pada syair hening

Mozaik Desember : Melukis Hujan

Aku kembali duduk di ruang depan, untuk melukis hujan, seperti apa yang kulihat, dari balik kaca. Kau hujan, memecah kebisuan rerumputan. Daun baambu berirama bersama sang bayu, hendak bersapa denganmu. Sepertinya di bawah sana ada yang tengah berpesta pora, Buffo melanotictus rajin melahap mangsa, para cacing penghuni seresah.

Kau masih saja menyapa, menyapa tanah, menyapa sawah, menyapa alam. Apa yang hendak kau kabarkan dari atas sana?, dari mendung, dari angin menjuru yang mengumpulkanmu, atau dari Tuhan yang menitahkan. Semoga kabar gembira, bukan kabar duka. Masih malu-malu matahari berkelambu kelabu, warna mendung singgasanamu, bak perawan hendak dipinang, tertutup muka oleh tangan.

Allahu Akbar…Allahu Akbar…

Allahu Akbar… Allahu Akbar…

Suara Mbah Marji memecah celah antara rerintik gemulaimu,  menyeru seruan Tuhanmu dari surau yang berjamaah tak lebih dari tujuh.

Kau hujan, bersujud, merebah tanah, berhenti berkabar. Kau memuji Ilahi.

Mendung sirna, surya kembali sumringah.

Ruang depan, 05122010