Diposkan pada syair hening

Mozaik Desember : Melukis Hujan

Aku kembali duduk di ruang depan, untuk melukis hujan, seperti apa yang kulihat, dari balik kaca. Kau hujan, memecah kebisuan rerumputan. Daun baambu berirama bersama sang bayu, hendak bersapa denganmu. Sepertinya di bawah sana ada yang tengah berpesta pora, Buffo melanotictus rajin melahap mangsa, para cacing penghuni seresah.

Kau masih saja menyapa, menyapa tanah, menyapa sawah, menyapa alam. Apa yang hendak kau kabarkan dari atas sana?, dari mendung, dari angin menjuru yang mengumpulkanmu, atau dari Tuhan yang menitahkan. Semoga kabar gembira, bukan kabar duka. Masih malu-malu matahari berkelambu kelabu, warna mendung singgasanamu, bak perawan hendak dipinang, tertutup muka oleh tangan.

Allahu Akbar…Allahu Akbar…

Allahu Akbar… Allahu Akbar…

Suara Mbah Marji memecah celah antara rerintik gemulaimu,  menyeru seruan Tuhanmu dari surau yang berjamaah tak lebih dari tujuh.

Kau hujan, bersujud, merebah tanah, berhenti berkabar. Kau memuji Ilahi.

Mendung sirna, surya kembali sumringah.

Ruang depan, 05122010